Me Rambles

Sunday 4 March 2012

Elegi Satu Sua -part 3-

        Dari sosok perawakannya yang kurus dan ceking, selerangnya yang keling dan dekil, serta pakaiannya yang lusuh dan kusam, sahih mengujarkan padaku bahwa anak dara yang tengah berada dihadapanku itu adalah seorang papa.

       Aku pun terpaku tak menjawab pertanyaannya, ternganga, menatapnya heran. Itulah pertama kalinya seseorang menyapaku di tempat ini. Terlebih lagi ia adalah seorang papa, sehingga aku tak tahu harus bereaksi seperti apa, selain mematung bingung.

Sesaat kemudian nyaris saja jeritanku meledak, anak dara itu mendadak merungguh tepat dihadapanku.


       Nyata saat itu juga aku dapat mencium aroma tubuhnya, melihat dengan jelas jentik-jentik kelemumur yang menghiasi kusam surainya, serta bintik-bintik merah pada selerang dahinya yang keling dan berminyak.

       Tak bisa kusanggah segala arti keburukan yang tertancap di dalam balignya panca indraku, serta merta memerintahkanku untuk beranjak menjauh sekarang juga.

Namun, sebelum aku sempat bereaksi apapun, anak dara itu kembali mengeluarkan suaranya yang cempreng.

“Kau tidak apa-apa kan?”

Aku semakin bingung, “M-Maksudmu?” tanyaku memberanikan diri, walaupun nyana hasratku saat itu begitu menginginkan agar anak dara kumal itu segera menjauh.

“Aku khawatir, dari tadi aku perhatikan kau melamun sendirian disini.. Sepertinya kau sedang bersedih.. M-Mungkin kau mau main denganku..”

Dan, hanya oleh sekalimat itulah aku pun dibuatnya tercekat. Entah berapa lama kiranya aku menantikan pertanyaan seperti itu merasuk ke dalam relung sepiku. Entah berapa lama kiranya aku mendambakan sapaan dari tatapan sayu markah kerisauan, layaknya pemberian anak dara itu saat ini.

Akhirnya setelah beberapa masa aku terdiam bersemuka dengannya, kuanggukkan kepalaku perlahan. “Boleh, mau main apa?”

Dan sesaat kemudian, ketika kulihat anak dara itu tersenyum begitu lebar, saat itulah aku menyadari serentak runtuhnya balig panca indraku. Tidak lagi hidungku mencium aroma tubuhnya, tidak lagi mataku kasat melihat kelumumurnya, bintik-bintik merahnya, ataupun segala keburukan yang sebelumnya membuatku ingin pergi menjauh.

Satu-satunya hal yang bisa kurasakan saat itu hanyalah sebuah sahaja ketulusan yang nyata begitu menggugahku.

Lalu akupun melihatnya, satu buah uluran tangan yang tulus mengajakku pergi dari ruang kesendirianku. Dan ketika aku meraihnya serta merta beranjak berdiri, itulah kiranya satu buah moment yang begitu jelas tertangkap oleh bingkai keindahan memori hidupku.

      "Namaku Minur .."

Dan akhirnya akupun merasakannya, satu buah pertalian tulus yang tercipta hanya dari satu buah kalimatnya yang mematri begitu dalam di dalam kalbuku.

“Aku, Taji”

 

No comments:

Post a Comment